Skalapost – Melindungi korban kekerasan seksual, merupakan amanat keberadaan lembaga P2TP2A, ternyata diduga oknum kepala UPT P2TP2A Lampung Timur (DA) malah justru melakukan kekerasan seksual kepada salah seorang korban yang sedang berada dalam lingkungan lembaga tersebut.
Ini jelas menggambarkan bagaimana kondisi memperihatinkan, kasus-kasus kekerasan seksual tidak hanya di Lampung tapi juga penampakan kasus kekerasan seksual secara nasional.
Hal ini menunjukkan ketidakseriusan negara akan keberpihakan terhadap korban kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan. Karena seharusnya Negara yang dalam hal ini dipresentasikan oleh keberadaan aparatur sipil negara mampu menjalankan dan mewujudkan rasa keadilan tersebut.
Sebagai salah satu contoh Seorang korban kekerasan seksual oleh pamannya. Proses pelaporan atas tindak kekerasan seksual tersebut sudah dilakukan pada bulan Januari 2020 dan pada bulan Mei 2020 sudah jatuh vonis kepada paman korban yakni hukuman penjara 13 tahun.
Selama menjalani trauma healing di P2TP2A Lampung Timur, korban didampingi oleh 2 orang petugas, salah satunya adalah DA. Namun ketika menjalani masa trauma healing, korban kembali menjadi korban kekerasan seksual ( Juni 2020). Dan pada tanggal 2 Juli 2020, orangtua Korban didampingi oleh LBH Bandarlampung, sudah melaporkan peristiwa kekerasan seksual tersebut ke Polda Lampung.
Vony Reynata, SH. selaku wakil ketua Bidang perempuan dan anak Partai Nasdem mengatakan , penanganan kasus kekerasan yang ada di Lampung, harus ada keberpihakan lembaga hukum terhadap korban.
“saya berharap pihak aparat penegak hukum baik kepolisian, jaksa dan hakim memiliki perspektif yang sama yakni keberpihakan terhadap para korban. Dengan tidak menjadikan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi korban untuk kesekian kalinya dengan ketika menjalani proses hukum dalam mencari keadilan.” Tegas Vony reynata.
Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Data Komnas Perempuan menunjukkan kekerasan sesual terjadi di semua ranah, yakni personal, public dan negara. Jumlah kekerasan seksual palin tinggi terjadi di ranah personal, yaitu ¾ dari total kasus kekerasan seksual. Di ranah personal rtinya kekerasan seksual dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek). Kondisi realita diatas jelas telah mematahkan mitos bahwa rumah adalah tempat yang paling aman bagi perempuan dan perempuan akan terlindungi bila selalu bersama dengan anggota keluarganya yang laki-laki.
Kekerasan seksual adalah isu penting dan sensitive dari seluruh peta bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Karena kekerasan seksual memiliki dimensi yang sangat khas bagi korban. Persoalan kekerasan seksual bukan hanya melulu persolan seksual tapi juga adanya persoalan ketimpangan relasi kuasa antara korban dan pelaku. Ketimpangan diperparah ketika salah satu pihak memiliki kendali lebih terhadap korban.Dan inilah yang dihadapi oleh N. Meski telah mendapati keadilan atas perbuatan yang dilakukan oleh pamannya sendiri melalui vonis pengadilan yakni penjara selama 13 tahun untuk pamannya bukan berarti proses keadilan bagi N telah selesai, hal ini dapat terlihat karena N masih menjalani proses trauma healing. Program Trauma Healing yang menjadi program P2TP2A sesungguhnya adalah program terobosan dengan pendekatan nama keadilan korban kekerasan seksual.
Mengapa demikian..?
karena selama ini Negara hanya memfasilitasi keadilan bagi korban kekerasan seksual melalui proses pemidanaan bagi pelaku. Negara tidak memperhatikan aspek lain yang diperlukan oleh korban salah satunya adalah pemulihan atas rasa trauma pasca kasus kekerasan seksual. Namun ternyata program terobosan itu terberangus dengan sikap kepala P2TP2A ysng justru pasti dengan sengaja menggunakan relasi kuasa untuk melakukan kekerasan seksual.
Bahwa terhadap kasus di atas, maka kami menyampaikan:
Mendukung disahkannya segera RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sebagaimana perlu diketahui bersama Fraksi NasDem adalah fraksi yang tetap memperjuangkan agar RUU Penghapusan kekerasan Seksual dapat menjadi Undang-Undang.
Mendukung langkah rekan LBH BANDARLAMPUNG dalam rangka melakukan pendampingan hukum terhadap korban untuk mendapatkan keadilan dalam kasus kekerasan seksual yang dialaminya.
Mendukung langkah tepat dan pro aktif aparat penegak hukum dalam hal ini pihak Polda Lampung dalam menindaklanjuti pelaporan kasus ini. Mengingat kasus ini telah menjadi perhatian secara nasional maka kami berharap pihak kepolisian dengan sungguh-sungguh dan hati-hati dalam menggunakan perpektif korban dalam menindaklanjuti proses pidana kasus ini.
Meminta Pihak Kepala Daerah Provinsi Lampung cq Kepala Daerah Kabupaten Lampung Timur untuk melakukan tindak tegas administrative terhadap Pelaku sebagai Aparatur Sipil Negara atas tindak kekerasan seksual yang dilakukannya di lingkungan kerjanya sendiri.
Mendesak Pihak Kepala Daerah Provinsi Lampung untuk mengevaluasi proses penempatan para Aparatur Sipil Negara dalam bidang-bidang kerja yang berkaitan dengan isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.Bahwa apa yang terjadi di lembaga P2TP2A di lampung Timur menjadi “alarm” sehingga tidak terjadi lagi di lembaga P2TP2A di kabupaten lain.
Mendesak Pihak Kepala Daerah Provinsi Lampung untuk mengevaluasi terhadap prngadaan program dan SOP dalam kerja layanan lembaga P2TP2A di seluruh kabupaten Provinsi Lampung sehingga peristiwa tindak kekerasan seksual yang terjadi di Lampung Timur tidak menjadi preseden berulang di provinsi Lampung.
Mendesak lembaga Legislatif provinsi Lampung dalam hal ini komisi V untuk secara pro aktif menginisiasi membuat PERDA berkaitan dengan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Lampung.
Mendesak KOMNAS Perempuan untuk ikut memantau langkah-langkah aparat penegak hukum di lampung demi menjamin terpenuhinya rasa keadilan bagi korban dan memastikan langkah-langkah koreksi terhadap keberadaan lembaga layanan P2TP2A di provinsi Lampung maksimal di kemudian harinya.
Mendesak komisi VIII DPR RI untuk pro aktif mengawasi kerja layanan berkaitan isu kekerasaan terhadap perempuan dan anak yang dilakukan oleh pihak eksekutif melalui kementriaan Pemberdayaan Perempuan dan Anak sehingga layanan terhadap korban bukan menjadi ranah yang rentan terjadi kekerasan terhadap korban. (*).