Skalapost – Hiruk-pikuk politik nasional belum sepenuhnya mereda pasca Pilpres, tetapi angin segar muncul dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan legislasi Nomor 60/PUU-XXII/2024. Keputusan ini dipandang sebagai titik balik bagi demokrasi Indonesia, membawa harapan baru bagi sistem politik yang lebih sehat dan terarah.
Namun, di tengah optimisme ini, Lampung menghadapi fenomena mengecewakan. Banyak partai politik di provinsi tersebut gagal mengusung kader mereka sendiri untuk maju di Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2024. Fenomena ini menimbulkan berbagai pertanyaan terkait dinamika internal partai dan strategi jangka panjang mereka.
Candrawansyah, seorang pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Lampung (UML), menjelaskan bahwa fenomena partai yang tidak mencalonkan kadernya sendiri sudah menjadi pemandangan umum dalam pemilihan kepala daerah. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah kurangnya dukungan internal dari partai terhadap kader sejak awal.
“Sering kali kader tidak mendapatkan dukungan kuat dari pimpinan atau anggota partai lainnya. Dalam politik, dukungan internal adalah fondasi penting untuk mendapatkan pencalonan,” ungkap Candrawansyah.
Ia juga menambahkan bahwa elektabilitas kader menjadi pertimbangan krusial. Jika seorang kader dianggap kurang populer atau memiliki elektabilitas rendah, partai cenderung memilih kandidat yang dianggap lebih potensial untuk menang, meskipun bukan kader internal.
Lebih lanjut, Candrawansyah menjelaskan bahwa partai bisa memilih untuk mendukung calon dari luar jika dinilai lebih menguntungkan secara strategi.
Hal ini sering kali terkait dengan kepentingan koalisi atau keseimbangan kekuatan dalam internal partai. “Terkadang pencalonan lebih berorientasi pada kepentingan jangka panjang partai, seperti memperkuat posisi di wilayah tertentu atau menjaga hubungan dengan kelompok tertentu,” tambahnya.
Budiyono, seorang akademisi Hukum Tata Negara dari Universitas Lampung, juga mengomentari fenomena ini. Menurutnya, keputusan MK seharusnya menjadi peluang emas bagi partai-partai politik untuk mendorong kader mereka maju di Pilgub. Namun, kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan baik. “Sangat disayangkan, kesempatan yang telah dibuka oleh MK ternyata tidak dimanfaatkan oleh partai-partai untuk mencalonkan kadernya sendiri, bahkan ketua partai yang merupakan kader terbaik tidak dicalonkan,” ujar Budiyono.
Budiyono menilai bahwa ketidakpercayaan diri partai-partai politik dalam mendukung kader mereka sendiri merupakan masalah mendasar yang perlu diatasi. Putusan MK memberikan kelonggaran dalam pencalonan kepala daerah, namun partai-partai di Lampung tampaknya masih enggan mengambil risiko untuk mengusung kadernya.
Sebagai catatan, dua tokoh penting di Lampung, Ketua DPD I Partai Golkar Lampung Arinal Djunaidi dan Ketua DPW NasDem Lampung Herman HN, tidak mendapatkan rekomendasi dari partai mereka untuk maju di Pilgub 2024. Ini menimbulkan perdebatan tentang arah strategi politik partai-partai besar di Lampung dan bagaimana keputusan ini akan memengaruhi peta politik daerah ke depan.
Keputusan partai-partai ini memperlihatkan dilema antara menjaga stabilitas internal partai dan menghadapi realitas politik yang pragmatis. Dengan dinamika ini, Pilgub Lampung 2024 akan menjadi panggung penting bagi partai politik untuk menunjukkan apakah mereka mampu memperjuangkan kader mereka atau lebih memilih untuk berkoalisi demi kemenangan jangka pendek. (Red).